Pasukan Inggris |
Mari kita lanjut kecerita selanjutnya, session terakhir. Bagi yg belum membaca session kelima, bisa klik disini...
Kisah#15: Trial and Error Saat Mencoba Senjata
Senjata-senjata (api) yang dimiliki oleh elemen-elemen bersenjata di
Surabaya saat itu sebagian besar adalah hasil rampasan senjata Jepang.
Senjata-senjata itu, termasuk mortir, meriam, dan panser, merupakan
modal besar dalam mempertahankan kemerdekaan, bukan hanya di Surabaya
dan Jawa Timur namun juga di daerah lain seperti Jakarta, Bandung, dan
Jawa Tengah yang mendapat kiriman senjata rampasan dari Surabaya.
Namanya juga senjata hasil rampasan yang dirampas dalam suasana kacau
balau, kualitas dan jenisnya macam-macam. Persoalan lain, seringkali
banyak ketidaksesuaian antara suatu jenis bedil atau senjata dengan
amunisi yang tersedia. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika
terdengar teriakan seperti ini: ”Pelurune kok kegeden? Gak iso mlebu
nang bedilku !?” (Peluruku kok kebesaran? Tidak bisa masuk ke dalam
bedilku nih!” yang terkadang disahuti oleh yang lain: ”Walah, peluruku
malah kecilik’an, lodhok iki”. (walah, malah peluruku kekecilan, jadi
longgar ini.). Kalau seperti itu, diantara mereka kemudian saling
mencoba untuk mengetahui peluru apa cocoknya ke senjata mana.
Itu baru soal kesesuaian antara jenis peluru dengan bedilnya. Belum lagi
soal mempergunakan senjata. Ini persoalan lain lagi. Selain TKR dan
Polisi Istimewa, praktis elemen-elemen bersenjata arek-arek Suroboyo
adalah milisi yang belum mahir dalam mempergunakan senjata. Namun karena
keterbatasan waktu dan tenaga, sulit juga untuk mengadakan semacam
short course cara penggunakan senjata yang baik dan benar. Terpaksalah
para pejuang itu belajar sendiri, dengan cara trial and error, cara
mempergunakan senjata seperti bagaimana cara membidik yang tepat agar
sasaran bisa dikenai.
Hal ini terus berlangsung bahkan saat pertempuran besar sudah terjadi.
Akibatnya seringkali hal ini menimbulkan insiden yang mengenaskan
seperti saat teman seperjuangan dihujani mortir hanya karena keliru
menghitung sudut elevasi tembakan. Namun terkadang juga muncul hal-hal
lucu seperti panser yang disetir dengan gaya orang mabok atau seperti
yang diceritakan oleh salah satu pejuang disela-sela istirahat.
“Aku mau nembak tentara Inggris, pas kenek ndase. Langsung matek tentara
iku” (Aku tadi menembak tentara Inggris, tepat kena kepalanya. Langsung
mati tentara itu) kata pejuang muda itu dengan bangga. Teman-teman yang
lain menimpali dengan rasa kagum. “Hebat awakmu saiki, wis iso nembak
titis. Angel lho nembak pas kene ndase iku” (Hebat dirimu sekarang,
sudah bisa menembak dengan jitu. Susah lho menembak dengan tepat di
bagian kepala.).
Tapi apa jawaban pejuang pertama tadi. ”Sak jane sih, aku mau ngeker
dodone supoyo luwih gampang ditembak, tapi kok kenek ndase? Yo wis,
kebetulan !” (Sebenarnya sih, aku tadi mengincar dadanya agar lebih
mudah ditembak, tapi kok kena kepalanya? Ya sudah, kebetulan !”) Maka
meledaklah tawa diantara sesama pejuang.
Begitulah arek-arek Suroboyo, meski suasana perang, selalu ada waktu riang dengan berkelakar diantara mereka.
= = =
Kisah#16: Transformasi dari Pengasuh Pondok Pesantren menjadi Komandan Pasukan Tempur
Masyarakat Surabaya khususnya, dan Jawa Timur sebagian besar adalah
muslim yang berorientasi ke Nahdlatul Ulama (NU). Semasa perang heroik
10 Nopember 1945, peranan warga dan kyai-kyai NU sungguh luar biasa,
bertarung bahu-membahu dengan komponen-komponen bangsa Indonesia lain
yang ada di Surabaya.
Pada saat situasi di Surabaya kian genting dan ibu pertiwi telah
memanggil putra putrinya untuk mempertahankan kehormatan dan kemerdekaan
bangsa, para kyai NU merasa terpanggil untuk turut memberikan
sumbangsihnya.
Serangkain pertemuan digelar oleh para kyai sepuh (sebutan khas
dikalangan NU yang merujuk pada kyai-kyai berpengaruh dan sangat
disegani) yang berujung pada satu tekad: lawan Inggris atau siapapun
yang berniat menjajah kembali Indonesia.! Sebagai perwujudan tekad para
kyai dan warga NU, maka pada tanggal 23 Oktober 1945, Mbah Hasyim atas
nama PB NU mendeklarasikan Resolusi Jihad untuk melawan pasukan
penjajah.
Resolusi Jihad ini seperti menyiramkan minyak ke api perlawanan rakyat
yang sudah menyala. Dampaknya luar biasa. Pesantren-pesantren dan
forum-forum pengajian berubah lebih banyak mengajarkan penggunaan
senjata dan bela diri. Para pengasuh pondok pesantren juga mengajar ilmu
kesakten kepada para pejuang lainnya yang datang ke pondok-pondok
pesantren. Ribuan kyai, ustadz, dan santri dari pelbagai penjuru Jawa
Timur dan Madura meninggalkan pesantren-pesantren mereka dan mulai
bergerak menuju Surabaya untuk turut menjadi pagar bangsa menghadapi
musuh yang kian nyata hendak menjarah hak dasar bangsa Indonesia:
Kemerdekaan. Sementara mereka yang tidak mempunyai kesempatan turut
langsung ke Surabaya, berusaha ikut melawan di daerah masing-masing
dengan misalnya merampas logistik untuk Inggris, dan kemudian
mengoperkannya ke para pejuang, atau mengirimkan bahan-bahan pangan agar
para pejuang tidak kelaparan saat bertaruh nyawa melawan pasukan
Inggris.
Para santri dan kyai itu bergabung dalam pelbagai elemen perlawanan
bersenjata. Ada yang bergabung dalam pasukan Hizbullah, Sabilillah, atau
bergabung dalam pasukan reguler lainnya. Sebagai komandan umum laskar
NU/pesantren adalah KH. Wahab Chasbullah, yang sehari-harinya adalah
pengasuh pondok pesantren. Entahlah, apa yang ada dalam pikiran para
Jenderal dan komandan pasukan Inggris kalau mereka tahu bahwa laskar dan
berikut para komandan di pihak Indonesia sebagian besar adalah
benar-benar warga sipil yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman tempur
sama sekali.
Meskipun para santri dan kyai-kyai tersebut sangat minim dalam hal
pengalaman dan teknik bertempur, keberanian mereka jangan disangsikan.
Mereka sungguh ikhlas dan tuntas dalam berjuang. Gelegar suara bom dan
mortir, deru deram tank-tank, dan desingan peluru pasukan Inggris
dibalas dengan teriakan takbir yang membahana sembari
mengacungkan-acungkan senjata agar para pejuang jangan gentar
sedikitpun. Cara bertempur seperti ini justru membuat pasukan India
Muslim (yang kemudian menjadi Pakistan) dari pihak Inggris menjadi gagap
dan gelagapan. Mungkin mereka menghadapi perang batin yang luar biasa
karena yang mereka hadapi adalah saudara muslim mereka yang tengah
berjuang mempertahankan haknya. Tidak sedikit diantara pasukan India
Muslim ini memberikan senjata dan amunisi kepada para pejuang atau
bahkan meninggalkan gelanggang pertempuran untuk menghindari bentrokan
dengan arek-arek Surabaya..
= = =
Kisah#17: Bantuan dari Daerah Sekitar
Berikut ini penuturan dari salah satu anggota TRIP di Madiun. Waktu itu
pemuda-pemuda Madiun juga ikut terpanggil untuk berangkat ke Surabaya
untuk melawan Sekutu. Tapi sayang beliau ngga boleh ikut berangkat ama
komandannya karena punya tanggung jawab jaga gudang amunisi (karena
rumahnya paling deket).
Pejuang tersebut cerita bahwa ada ratusan pemuda dari Madiun yang
berangkat ke Surabaya. Sebagian besar naik kereta, sebagian lagi naik
truk. Tapi yang paling mengharukan, sebagian yang ngga bisa keangkut
kereta atau truk ngga mau nunggu lama-lama, mereka bertekad jalan kaki
atau naik sepeda sampai surabaya (400 km dari madiun). Salah satu yang
jalan kaki adalah temennya pejuang tersebut. Akhirnya dia bisa dapet
tumpangan kendaraan di kota nganjuk (kira-kira 100 km dari Madiun)
setelah seharian berjalan. Bayangkan betapa kuatnya tekad mereka untuk
berjuang (menjemput maut) sampai rela berkorban seperti itu.
Yang ngga bisa berangkat kayak pejuang diatas karena harus menjaga
gudang amunisi, nyumbang apa aja yang bisa dikasih ketemen-temennya yang
berangkat... ya senjata, ya uang, ya baju, ya sepatu.. pokoknya apa aja
yang bisa dikasih. Kata pejuang tadi, sepanjang jalan utama antara
Madiun - Surabaya.. banyak ibu-ibu duduk di pinggir jalan sambil
menawari makanan dan minuman bagi para pejuang yang tengah dalam
perjalanan ke surabaya..
Mereka rela menjadi tiada untuk membuat kita ada...
= = =
Sumber : Seluruh pejuang di Surabaya khususnya Arek-arek Suroboyo