Close

Potensi Diri Versus Prestasi

soloportal.blogspot.com ---
Hore!
Hari Baru, Teman-teman.
Kalau Anda, termasuk punya potensi diri yang tinggi atau sedang? Atau rendah? Saya yakin sebagian besar orang percaya bahwa dirinya pempunyai potensi diri yang tinggi. Termasuk Anda juga kan? Kecuali orang-orang yang rendah hati, yang mengatakan  potensi dirinya sedang-sedang saja. Sedangkan orang yang rendah diri, merasa potensinya rendah. Saya sudah berinteraksi dengan ratusan bahkan mungkin ribuan orang menanyakan hal ini. Tidak seorang pun yang merasa dirinya berpotensi rendah. Jawaban itu valid, karena saya menanyakan hal itu kepada orang-orang yang berkualifikasi tinggi. Tetapi, ketika saya menanyakan; bagaimana dengan prestasi dan pencapaian Anda, apakah juga sudah tinggi? Ternyata tidak semua orang bisa menjawabnya dengan mudah. Bagaimana dengan Anda?
Menyimak betapa banyaknya orang yang merasa digaji rendah. Kita bisa paham bahwa mereka meyakini jika potensi dirinya tinggi. Makanya, mereka mempertanyakan; ‘kenapa gue cuman digaji segini?’ Demikian pula kalau kita memperhatikan betapa banyak orang yang menggerutu karena tidak dipromosi. Mereka bilang; ‘mestinya gue yang mendapakan jabatan itu!’ Fenomena ini menunjukkan bahwa kita; paham benar betapa tingginya potensi diri yang kita miliki.
Tetapi menyimak keluhan terhadap pencapaian yang selama ini kita raih...., kadang suka membuat sedih. Ketika perusahaan menilai kita belum menghasilkan sesuai dengan harapan managemen misalnya. Atau ketika atasan mengomel karena kecewa dengan hasil kerja kita. Atau, ketika pelanggan komplen karena kita tidak melayani mereka dengan semestinya. Atau,  ketika teman kerja kita  kesel gara-gara kerjaan kita yang molor menyebabkan pekerjaan mereka jadi ikut tertunda. Semua fenomena itu memperlihatkan fakta yang sebaliknya dari potensi diri yang kita klaim tinggi itu.
Jika kita benar-benar memiliki potensi diri yang tinggi, masa sih hasil kerjanya cuman begitu-begitu saja. Orang HRD itu mau menerima lamaran kerja kita karena mereka percaya bahwa kita adalah orang yang tepat untuk pekerjaan ini. Perusahaan percaya bahwa kita mempunyai potensi yang cukup tinggi untuk bisa berprestasi. Tapi jika selama bekerja itu ternyata kita tidak menunjukkan prestasi istimewa, boleh jadi perusahaan merasa menyesal telah mempekerjakan kita.
Cewek yang dulu kita pacari itu akhirnya mau dinikahi karena dia percaya bahwa kita punya ‘potensi’ untuk menjadi kepala keluarga yang ‘bisa diandalkan’, misalnya. Tapi, jika setelah menikah dengan kita ternyata hidupnya cuman begitu-begitu saja mungkin dia menyesali keputusannya kali ya. Dia sudah sama kecewanya dengan diri kita sendiri yang percaya betul bahwa kita ini memiliki potensi yang tinggi. Kenapa semua ini terjadi? Apakah kita keliru dengan anggapan bahwa kita punya potensi diri tinggi? Jangan-jangan, kita ini tidak berpotensi seperti yang kita kira selama ini.
Tidak juga. Sebenarnya, keyakinan bahwa kita punya potensi diri yang tinggi itu benar adanya. Tuhan memang sudah menciptakan diri kita dengan potensi yang tinggi. Soal prestasi kita yang tidak kunjung tinggi, itu tidak semata-mata terkait dengan potensi saja. Jika Anda anak IPA, Anda pasti masih ingat tentang ‘energi potensial’ dalam pelajaran fisika. Jika Anda anak IPS, gak usah khawatir. Gampang kok fisika itu. Begini. Energi potensial itu berarti energi yang dimiliki oleh suatu benda karena kedudukannya diatas tanah. Bahasa sosialnya bisa jadi begini; energi yang dimiliki oleh seseorang karena keberadaan dirinya disuatu lingkungan atau dalam sebuah perusahaan.
Benda itu ada. Maka dia punya energi. Karena benda itu diam, maka energinya berupa energi potensial. Artinya, benda itu mempunyai potensi sebesar massa atau bobotnya, dikalikan gravitasi bumi, dikalikan jaraknya dari tanah. Terjemahan sosialnya kira-kira menjadi begini: Orang itu ada. Maka dia punya energi. Karena orang itu diam, maka energi atau kekuatan yang dimilikinya baru berupa energi potensial. Artinya, orang itu mempunyai potensi sebesar kemampuan dirinya sendiri, dikalikan daya tarik perusahaan, dikalikan kedekatan mental-emosionalnya dengan perusahaan.
Konteks IPA-nya begini; Selama benda itu diam, maka energi yang dimilikinya tetap menjadi energi potensial yang – boleh dibilang – ‘belum’ menghasilkan apa-apa. Misalnya, mobil yang diparkir digarasi. Dia punya energi potensial. Tapi sebagus apapun mobil itu, tidak bisa memberi manfaat kepada kita sebagai mana mestinya – yaitu sebagai alat transportasi – karena mobil itu ya diam aja disitu. Konteks IPS-nya begini; Selama orang itu diam, maka seluruh kemampuan dirinya serta peluang-peluang yang ada disekitarnya baru menjadi sebatas potensi doang. Belum menghasilkan sesuatu yang ‘real’. Dereng ono hasile. Belon ada hasilnya. Baru potensi doang. Ini semacam orang yang mengklain dirinya berpotensi tinggi, tapi punya banyak alasan untuk tidak mendayagunakan potensi dirinya itu. Makanya hasilnya ya begitu-begitu saja.
Dalam IPA, jika mobil itu bergerak; maka selama pergerakannya mobil itu mempunyai energi bentuk lain, yaitu energi kinetik. Energi kinetik ini hanya dihasilkan ketika mobil itu ‘mau bergerak’ sehingga besarnya energi itu sebanding dengan massa atau bobotnya dikalikan dengan pangkat dua dari kecepatan gerakannya. Energi itulah yang menjadikan mobil tersebut berguna sebagaimana layaknya sebuah mobil. Yaitu, membawa penumpangnya dari suatu tempat ke tempat lain. Mobil yang lajunya lebih cepat, tentu lebih baik dibandingkan dengan mobil yang lelet. Karena mobil yang bergerak lebih cepat menghasilkan energi kinetik yang lebih besar.
Dalam IPS kira-kira maknanya jadi begini; jika kita – manusia – mau menggunakan seluruh kemampuan dengan sebaik-baiknya, maka kita mengkonversi potensi diri yang kita miliki itu menjadi prestasi. Bayangkan deh, Anda punya potensi diri yang tinggi. Tapi karena Anda ‘merasa’ digaji rendah, terus Anda tidak mendayagunakan potensi itu. Prestasi Anda bakal tinggi nggak? Ya nggak bakalanlah. Coba kalau Anda mau ‘bergerak’. Sekuat tenaga Anda curahkan seluruh kemampuan yang menjadi potensi Anda itu. Pasti Anda bisa menjadi profesional yang mampu menangani tugas-tugasnya dengan sangat baik. Karyawan yang lebih banyak mendayagunakan potensi dirinya, tentu lebih baik dibandingkan dengan karyawan yang membiarkan potensi dirinya menganggur. Karena karyawan yang mengoptimalkan potensi dirinya menghasilkan lebih banyak energi untuk berprestasi.
Dalam IPA, energi potensial itu dijumlahkan dengan energi kinetik. Hasilnya disebut energi mekanik. Dalam IPS potensi diri seseorang itu dijumlahkan dengan ‘karya nyata’ yang bisa dibuatnya. Hasilnya disebut sebagai ‘profesionalisme’. Mobil bagus yang mahal, dengan kapasitas mesin 5000 cc. Tapi diam melulu di garasi. Cuman punya energi potensial doang. Cuman tongkrongannya doang yang bagus. Karyawan lulusan sekolah terkenal dengan IPK cume laude. Tapi, diam melulu dikursinya sambil mengeluhkan karirnya yang mandek. Cuman CV-nya doang yang bagus.
Kalau mobil keren itu masih mending. Meskipun cuman ‘nongkrong’, emang sengaja dipajang oleh pemiliknya sebagai koleksi. Lah elo. Kalau cuman bagus tongkrongan doang. Atau cuman keren di CV doang? Mana ada sih pengusaha yang mau ‘mengoleksi’? Nggak ada ya. Makanya sahabatku, mari jangan berhenti pada kekaguman atas potensi diri yang tinggi. Mari, mulai sekarang kita lebih banyak menjadikan potensi diri yang tinggi itu sebagai energi untuk ‘bergerak’. Dengan potensi itu, kita tunjukkan bahwa kita bisa menghasilkan energi kinetik yang tinggi. Menghasilkan karya-karya yang berkualitas tinggi. Sehingga para pemilik perusahaan bisa melihat hasilnya. Agar mereka sadar, bahwa kita; punya potensi tinggi. Punya prestasi tinggi. Dan pantesnya sih, dibayar lebih tinggi. Boleh ya? Ayo. Mulai sekarang.  

Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman